Kali Code Mempersatukan Semua
Kompas, Senin, 22 November 2010 | 05:05 WIB
Keterpanggilan mungkin terdengar sebagai alasan klise. Namun, hanya itulah yang membuat Slamet Riyadi bergabung dengan Pakualaman Rescue and Communication dua tahun lalu. Pria 23 tahun itu masih setia menemani perjalanan Kali Code.
Dari Pakualaman
Tiga pekan terakhir, dia bahkan tidak pulang ke Wates, Kulon Progo, demi menunggui kalau-kalau banjir lahar Merapi menyerang Kota Yogyakarta. Handie-talkie (HT) menjadi alat yang tidak pernah jauh dari jangkauannya. Dengan alat itu, komunitas ini berbagi informasi.
Jauh di Wates, Kulon Progo, anak Slamet yang berumur 3 tahun selalu menunggu. Namun, keinginannya untuk ikut menjaga kota dari banjir lahar lebih kuat memanggil. Slamet memilih menghabiskan malam-malam di posko induk di bawah Jembatan Juminahan, Yogyakarta.
”Setiap hari, sekitar jam 5 sore, saya sampai di bawah jembatan ini. Semalaman habis di pinggir Kali Code. Sekitar jam 4 dini hari, saya bersiap pergi ke tempat kerja,” ucap buruh panggul di sebuah toko bangunan di Jalan Veteran itu.
Pemantauan Kali Code di bawah Jembatan Juminahan akhir-akhir ini memang selalu ramai. Selain di situ, jembatan di sepanjang Kali Code—mulai dari Rejodani hingga Sorosutan—juga dijaga anggota Pakualaman Rescue and Communication (Pareanom).
Selain buruh, ada juga pegawai negeri, polisi, satpam, dan berbagai profesi lain. Kalau sudah berkumpul di Pareanom, tidak ada yang membahas profesi. Mereka semua merasa satu.
Berdiri pada 2008, Pareanom adalah komunitas radio HT di Kota Yogyakarta yang bergerak di bidang komunikasi dan penyelamatan. Komunitas ini berawal dari satuan pelaksana bencana Pakualaman yang kemudian mempunyai tugas meluas.
Sebuah radio induk dipasang di posko induk bawah Jembatan Juminahan. Sedangkan ratusan HT dipegang tiap anggota. Semua HT dibeli dari kantong pribadi pemiliknya. Slamet, misalnya, harus berhemat sebulan untuk bisa membeli HT seharga Rp 800.000.
Dengan alat itu, anggota Pareanom—yang kini berjumlah sekitar 200 orang—berbagi informasi setiap hari lewat frekuensi HT 149.940 MHz.
Komunitas ini didukung pemilik stasiun radio Retjo Buntung yang memperbolehkan Pareanom memasang antena repeater di pemancar radio setinggi sekitar 100 meter. Saat ini, antena repeater Pareanom merupakan antena radio tertinggi di Kota Yogyakarta, dengan jangkauan Klaten, Magelang, dan Solo, Jawa Tengah.
Dalam komunikasi di radio, setiap orang punya nama udara masing-masing. Slamet, misalnya, dikenal dengan nama udara Memet. Suryo Edi yang juga pengusaha daging sapi dikenal dengan nama udara Doli Tobing yang artinya dolan lali omah, mergo tolol dan bingung (main sampai lupa rumah karena tolol dan bingung). Ada juga nama udara Kusuma yang dimiliki penjual bensin eceran Kusdiono.
Di luar ancaman banjir lahar, komunitas ini juga mengomunikasikan aneka kejadian seperti kebakaran hingga pencopetan.
Sebagian informasi diikuti dengan tindak nyata. ”Saya pernah ikut mencari wisatawan yang hilang di pantai selatan. Seminggu penuh menyusuri Pantai Parangtritis, Depok, dan Glagah untuk mencari tujuh orang hilang,” ucap Dipo Nusantoro alias Nunus (28) atau dikenal dengan nama udara Anwar.
Kewaspadaan di sepanjang aliran Kali Code juga meningkat seiring dengan aktivitas Merapi yang memasuki fase erupsi sejak akhir Oktober lalu. ”Kali Code ini kan hulunya di Merapi sehingga aliran lahar dingin pasti sampai sini. Jadi rasanya sekarang ini kami seperti menunggu bayi mau lahir,” ujar Sarjono, warga Purwokinanti, Pakualaman, Yogyakarta.
Pria yang tinggal di radius 200 meter dari bibir Kali Code ini masih ingat peristiwa akhir tahun 1980-an. Ketika itu, aliran lahar dingin dari Gunung Merapi membuat Kali Code meluap. Air yang bercampur dengan tanah dan pasir masuk ke rumah penduduk dan bahkan merusak Jembatan Sayidan.
Pada kondisi normal, lanjutnya, Kali Code memang kelihatan kecil. ”Tapi kalau meluap, mengerikan,” tambahnya.
Kini, sedikitnya 100 juta meter kubik material vulkanik dihasilkan dari erupsi Merapi. Material ini yang dikhawatirkan akan larut di sungai, terbawa hingga ke Yogyakarta, dan akhirnya meluber ke rumah-rumah warga di bantaran sungai.
Dari hulunya, banjir lahar membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam untuk mencapai Jembatan Juminahan. Terutama bila hujan turun, anggota Pareanom intens berbagi informasi mengenai ketinggian air, material yang terbawa, serta situasi di jembatan sepanjang Kali Code. Kalau dihitung, ada lebih dari 10 jembatan di Code. Dengan adanya pemantauan berantai seperti ini, banjir lahar dingin itu bisa segera terdeteksi.
Pemantauan Kali Code ini tidak pernah berhenti dilakukan lantaran ancaman banjir lahar tidak mengenal batasan waktu. Bisa saja erupsi Merapi selesai, tetapi banjir lahar terjadi pada hari-hari setelahnya karena banjir lahar didahului dengan hujan di hulu sungai.
”Bila ada ancaman, kami langsung memperingatkan orang yang bermain-main di sepanjang badan sungai untuk segera naik dan menjauhi sungai. Peringatan ini bukan hal gampang. Sering warga menolak bila kami minta baik-baik. Terpaksalah kami merayu-rayu agar mereka tidak berada di dalam sungai,” kata Slamet alias Memet.
Eko Warjito, warga Purwokinanti, juga rajin memantau kondisi Kali Code. ”Setiap malam pasti ke sini. Tapi kalau aliran lahar dingin sudah terlihat sejak siang, ya siang pun kami ke sini (posko induk),” ujar pegawai negeri sipil yang menggunakan nama udara Paijo itu.
Sepanjang malam berada di Posko Induk Pareanom, Eko bersama teman-temannya menjagai Code sembari ngobrol. Untuk menghangatkan badan, mereka punya dapur darurat untuk membuat teh atau kopi panas. Jika kantuk menyerang, mereka bisa tidur sejenak di atas tikar.
Semua kegiatan dalam Pareanom merupakan aktivitas sukarela. Tidak jarang anggotanya merogoh kocek sendiri. Hanya dua pekan terakhir sumbangan logistik tak ada habis-habisnya mengalir ke bawah jembatan itu. Gula, teh, kopi, mi instan, dan kadang-kadang nasi bungkus dikirimkan simpatisan untuk pemantau Kali Code itu.
Karena keterpanggilan tersebut, semua pekerjaan dijalani dengan gembira. Modal sosial yang luar biasa ini hidup dalam masyarakat Yogyakarta yang saat ini tengah dirundung duka.
0 komentar:
Posting Komentar